“Revolusi
Mental" merupakan jargon yang diusung presiden terpilih Joko Widodo sejak
masa kampanye Pemilu Presiden 2014. Menurut beliau, revolusi mental berarti
warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Indonesia, sebut Jokowi,
merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong
royong. Dia mengatakan, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat
membuat rakyat sejahtera. Tapi, sedikit demi sedikit (karakter) itu
berubah dengan tidak sadar. Yang seperti itulah yang merusak mental. Perubahan
karakter bangsa tersebu, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi,
nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan.
Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap
sendi bangsa. Oleh sebab
itu, beliau menawarkan adanya sebuah revolusi mental.
Pendidikan Dan Penegakan
Hukum
Terminologi "revolusi”, tidak selalu berarti
perang melawan penjajah. Kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter
bangsa harus dikembalikan pada aslinya. Kalau ada kerusakan di nilai
kedisiplinan, mesti ada serangan nilai-nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola
pikir, mindset. Titik itulah yang harus di serang.
Satu-satunya jalan untuk revolusi, adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita. Dengan komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran seluruh warga negara, Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik.
Satu-satunya jalan untuk revolusi, adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita. Dengan komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran seluruh warga negara, Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik.
Revolusi Mental Dalam Pendidikan
Revolusi mental melibatkan semacam
strategi kebudayaan. Hal yang dibidik oleh revolusi mental adalah transformasi
etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas yang meliputi cara berpikir,
cara merasa, cara mempercayai yang semuanya ini menjelma dalam perilaku dan
tindakan sehari-hari.
Pendidikan formal melalui sekolah
dapat menjadi fokus untuk memulai revolusi mental ini. pendidikan diarahkan
pada pembentukan etos warga negara. Proses pedagogis
membuat etos warga negara ini ‘menubuh’ atau dapat menjadi tindakan
sehari-hari. Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskursif ke pengetahuan praktis.
Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang abstrak,
tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi tindakan sehari-hari.
Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan. Pendidikan
mengajarkan keutaamaan yang merupakan pengetahuan praktis.
Revolusi mental membuat kejujuran dan keutaamaan yang lain menjadi suatu
disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret.
Pendidikan di sekolah hanya salah
satu kantung perubahan saja. Revolusi mental yang menjadi gerakan berskala
nasional perlu dilakukan di setiap kelompok-kelompok di kehidupan sehari-hari.
“transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan
perubahan dalam hal-hal yang rutin.”
Beberapa
hal dalam pendidikan yang perlu diperbaiki berkenaan dengan revolusi mental
ini, yaitu:
1. ‘menghafal’ adalah Kunci
Kesuksesan
Bagi peserta didik ‘menghafal’
adalah ritual yang harus dilakukan menjelang ujian. Dengan menghafal, maka
pertanyaan dalam ujian akan dapat terjawab dengan baik sehingga akhirnya
mendapat nilai yang memuaskan. Memang tidak ada yang salah dengan menghafal.
Bahkan, ilmu pengetahuan tidak akan lahir tanpa usaha menghafal dan mencatat
suatu peristiwa alam atau sosial. ‘Menghafal’ menjadi masalah apabila dilakukan
tanpa mengetahui konsep yang sesungguhnya. Peserta didik hanya menghafal
rentetan kata dan kalimat tanpa tahu makna yang sesungguhnya. Seorang mahasiswa
yang mengikuti mata kuliah filsafat manusia, misalnya, dapat saja menghafal
definisi dimensi-dimensi dalam filsafat manusia tanpa memahami maknanya. Dalam
kehidupan sehari-hari ia tetap memandang manusia secara parsial saja, sebagai
penghasil uang, dengan melupakan dimensi sosial manusia.
Bagaimana merevolusi mental ‘ritual
menghafal’ ini? Perlu ada perbaikan dalam metode mendidik. Pendidikan dalam
usaha revolusi mental berusaha ‘menumbuhkan’ ajaran-ajaran yang diperoleh di
sekolah agar sungguh dapat diterapkan dalam praktek hidup. Pendidik perlu
memberikan banyak contoh yang relevan, analisis kasus, serta
percobaan-percobaan di kelas. Contoh yang relevan, analisis kasus dan percobaan
membantu peserta didik untuk mendapatkan kunci-kunci penting pemahaman tanpa
kehilangan basis pada realitas. Pendidik seringkali melupakan metode-metode
memberikan praktek yang mengajak peserta didik berpikir, sebab pendidik harus
memenuhi tuntutan target materi yang harus tersampaikan dalam pertemuan itu.
2. Nilai Ujian dan Ijazah adalah
Inti dari Seluruh Proses Pendidikan
Masyarakat yang memandang ijazah
sebagai tujuan pokok dari seluruh proses pendidikan kehilangan makna dari
pendidikan itu sendiri. Bersekolah, bagi masyarakat yang demikian, adalah usaha
untuk mendapatkan ijazah. Agar mendapatkan ijazah dengan keterangan yang
memuaskan, nilai-nilai ujian perlu digenjot. Ijazah menjadi golden ticket untuk
meneruskan perjuangan hidup berikutnya. Ijazah digunakan untuk melamar
pekerjaan dan mendapatkan jabatan sehingga kesejahteraan hidup pun terjamin.
Apa bahaya dari pandangan yang terlalu ‘gila ijazah’ ini?
Pendidikan, dalam masyarakat yang
demikian, tidak lagi merupakan usaha untuk membuat manusia yang sungguh menjadi
manusia. Nilai ujian dan ijazah dikejar demi nilai ujian itu sendiri. Nilai
ujian dan ijazah bukan lagi menandakan kualitas dari peserta didik. Pendidik
dan peserta didik sama-sama dituntut untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai
formalitas untuk memperoleh nilai yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan
ijazah. Dosen yang membutuhkan waktu lama untuk membimbing satu skripsi,
misalnya, tidak jarang dianggap terlalu kolot dan didesak segera meluluskan
mahasiswa tersebut dengan kemampuan yang seadanya.
Revolusi terhadap mental ‘gila
ijazah’ ini memang tidak mudah sebab perbaikan tidak hanya melibatkan sistem
pendidikan melainkan juga sistem ekonomi dan politik. Sistem penilaian dalam
pendidikan perlu dibuat agar tidak terlalu mementingkan kuantitas. Lapangan
pekerjaan juga perlu diperluas agar orang tidak khawatir akan kesempatan yang
ia dapatkan untuk mengembangkan diri di suatu lapangan pekerjaan tertentu.
Dengan demikian, pendidikan yang ia jalani juga sungguh berkualitas.
3. Standarisasi nilai melalui Ujian
Akhir Nasional
Ujian Akhir Nasional (UAN) yang
selama ini dilakukan menuai banyak kritik. UAN dilakukan dengan alasan
standarisasi kemampuan pelajar di seluruh Indonesia. Pelaksanaan UAN memiliki
asumsi dasar bahwa peserta didik berangkat dari modal yang sama sehingga dapat
mencapai standar kemampuan akademis tertentu yang sama. Kenyataannya, peserta
didik tidak memiliki modal yang sama. Mereka memiliki modal pengetahuan,
budaya, kualitas sekolah dan lingkungan masyarakat yang berbeda. UAN sebagai
standarisasi kemampuan akademis tidak lagi relevan mengingat modal yang berbeda
ini. Peserta didik di Jakarta tidak memiliki latar belakang budaya, kualitas
sekolah dan lingkungan serta kebutuhan yang sama dengan peserta didik di
makassar, sehingga standarisasi pun tak dapat dilakukan. Syarat suatu
perbandingan dapat dilakukan ialah hal-hal yang diperbandingkan memiliki
prinsip yang sama. Apabila tidak memiliki prinsip yang sama maka terjadilah incommensurability.
4. Pendidik menjadi Sekedar Memenuhi
Formalitas Mengajar karena Tekanan Sistem
Pendidik dalam menjalankan aktivitas
mendidik tidak hanya berurusan dengan peserta didik dan materi yang ingin
disampaikan. Pendidik juga disibukkan dengan borang-borang rencana pembelajaran
dan target materi yang harus tersampaikan. Target ini tentu berkaitan juga
dengan UAN. Apabila target materi tidak terpenuhi maka peserta didik terancam
tidak lulus UAN. Apabila ada siswa yang tidak lulus UAN, maka nama baik sekolah
pun akan tercemar.
‘Sekadar memenuhi formalitas’ tidak
hanya menjangkiti guru di sekolah tetapi juga para dosen di perguruan tinggi.
Berulang kali jenis borang rencana pembelajaran berubah. Perubahan yang terjadi
dalam kurun waktu satu setengah tahun ini ialah dari Silabus dan SAP (Satuan
Acara Perkuliahan) ke RPKPS (Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran
Semester) lalu kini ke RPS (Rencana Pembelajaran Semester). Dosen harus selalu
menyesuaikan diri dengan perubahan borang ini. Belum lagi ditambah sistem yang
harus dipenuhi sebagai dosen yang memiliki NIDN (Nomer Induk Dosen Nasional)
begitu banyak dan rumit. Akhirnya dosen lebih lancar sebagai pengelola administrasi
‘ke-dosen-an’ daripada sebagai seorang pendidik.
5. Orang Miskin Dilarang Sekolah
Bayangkan berapa uang yang harus
dikeluarkan untuk menyekolahkan anak dari pendidikan usia dini hingga perguruan
tinggi. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah biaya yang dibutuhkan untuk
mendukung pendidikan seorang anak. Biaya ini tidak masuk akal bagi orang tua
yang memiliki pendapatan tidak lebih dari satu setengah juta rupiah per bulan,
bahkan untuk yang berpenghasilan tiga juta rupiah sekalipun. Tidak masuk
akalnya biaya untuk pendidikan, membuat banyak anak harus putus sekolah.
Revolusi Mental dalam pendidikan perlu didukung kebijakan politik dan ekonomi
serta mekanisme agar pendidikan akhirnya dapat diakses siapa saja di seluruh
pelosok negeri ini. Apabila kartu indonesia pintar jadi diterapkan,maka
mekanisme pembagian serta penggunaanya perlu dikawal agar dapat berfungsi dan
tepat sasaran.
6. Perbanyak Pelajaran Agama agar
Perilaku Menjadi Baik
Pemberlakuan kurikulum 2013
mengundang kritik dari para pemerhati pendidikan. Kurikulum 2013 memiliki
tujuan besar untuk mengubah moral peserta didik menjadi lebih baik. Kekeliruan
dimulai ketika penerapan kurikulum 2013 dilakukan dengan memperbanyak ajaran
agama. Anggapan bahwa ‘memperbanyak pelajaran agama dapat mengubah perilaku
menjadi baik’ berakar dari asumsi pembedaan yang tajam antara budaya dalam
bentuk yang immaterial (cara pikir, merasa) dan material (tindakan, hasil karya
cipta manusia). Tidak hanya pembedaan bahkan stratifikasi. Unsur immaterial
dianggap lebih tinggi dari pada unsur material. Penguasaan pelajaran agama
dianggap pasti dapat mengubah perilaku peserta didik.
Padahal dalam kenyataan, penguasaan
teoritik saja tidak menjamin nilai-nilai yang dipelajari di sekolah menjadi
cara berpikir dalam praktek hidup. Dalam revolusi mental, perlu diupayakan
perubahan asumsi dasar dalam memandang budaya. Sebagaimana disarankan dalam
tulisan Mengartikan Revolusi Mental, unsur budaya sebagai pola kebiasaan,
pandangan hidup dan lapisan fisik perlu dilihat secara integral. Mengubah moral
yang merupakan praktek hidup, perlu pembaruan penafsiran kurikulum dan metode
mendidik. Perubahan moral tidak selalu datang dari pelajaran agama tetapi bisa
juga dari pelajaran etika. Tentu saja pelajaran etika yang dimaksud ialah
pelajaran etika dengan pembaruan dalam metode pengajaran, sehingga tidak
terjebak lagi dalam menghafal teori-teori etika.
Sumber : http://surabaya.bisnis.com/read/20140516/25/71407/jokowi-jelaskan-apa-itu-yang-dimaksud-revolusi-mental
Tidak ada komentar:
Posting Komentar