Jumat, 19 Desember 2014

Jokowi dan Arti "Revolusi Mental"


Ilustrasi-JIBI Photo

“Revolusi Mental" merupakan jargon yang diusung presiden terpilih Joko Widodo sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014. Menurut beliau, revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Indonesia, sebut Jokowi, merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dia mengatakan, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. Tapi, sedikit demi sedikit (karakter) itu berubah dengan tidak sadar. Yang seperti itulah yang merusak mental. Perubahan karakter bangsa tersebu, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Oleh sebab itu, beliau menawarkan adanya sebuah revolusi mental.

Pendidikan Dan Penegakan Hukum 

Terminologi "revolusi”, tidak selalu berarti perang melawan penjajah. Kata revolusi merupakan refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. Kalau ada kerusakan di nilai kedisiplinan, mesti ada serangan nilai-nilai ke arah itu. Bisa mengubah pola pikir, mindset. Titik itulah yang harus di serang.

            Satu-satunya jalan untuk revolusi, adalah lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita. Dengan komitmen pemerintah yang kuat disertai kesadaran seluruh warga negara, Indonesia dapat berubah ke arah yang lebih baik.

Revolusi Mental Dalam Pendidikan


 mental



Revolusi mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Hal yang dibidik oleh revolusi mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas yang meliputi cara berpikir, cara merasa, cara mempercayai yang semuanya ini menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Pendidikan formal melalui sekolah dapat menjadi fokus untuk memulai revolusi mental ini. pendidikan diarahkan pada pembentukan etos warga negara. Proses pedagogis membuat etos warga negara ini ‘menubuh’ atau dapat menjadi tindakan sehari-hari. Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskursif  ke pengetahuan praktis. Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan. Pendidikan mengajarkan keutaamaan yang merupakan pengetahuan praktis. Revolusi mental membuat kejujuran dan keutaamaan yang lain menjadi suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret.
Pendidikan di sekolah hanya salah satu kantung perubahan saja. Revolusi mental yang menjadi gerakan berskala nasional perlu dilakukan di setiap kelompok-kelompok di kehidupan sehari-hari. “transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin.”


Beberapa hal dalam pendidikan yang perlu diperbaiki berkenaan dengan revolusi mental ini, yaitu:

1. ‘menghafal’ adalah Kunci Kesuksesan
Bagi peserta didik ‘menghafal’ adalah ritual yang harus dilakukan menjelang ujian. Dengan menghafal, maka pertanyaan dalam ujian akan dapat terjawab dengan baik sehingga akhirnya mendapat nilai yang memuaskan. Memang tidak ada yang salah dengan menghafal. Bahkan, ilmu pengetahuan tidak akan lahir tanpa usaha menghafal dan mencatat suatu peristiwa alam atau sosial. ‘Menghafal’ menjadi masalah apabila dilakukan tanpa mengetahui konsep yang sesungguhnya. Peserta didik hanya menghafal rentetan kata dan kalimat tanpa tahu makna yang sesungguhnya. Seorang mahasiswa yang mengikuti mata kuliah filsafat manusia, misalnya, dapat saja menghafal definisi dimensi-dimensi dalam filsafat manusia tanpa memahami maknanya. Dalam kehidupan sehari-hari ia tetap memandang manusia secara parsial saja, sebagai penghasil uang, dengan melupakan dimensi sosial manusia.
Bagaimana merevolusi mental ‘ritual menghafal’ ini? Perlu ada perbaikan dalam metode mendidik. Pendidikan dalam usaha revolusi mental berusaha ‘menumbuhkan’ ajaran-ajaran yang diperoleh di sekolah agar sungguh dapat diterapkan dalam praktek hidup. Pendidik perlu memberikan banyak contoh yang relevan, analisis kasus, serta percobaan-percobaan di kelas. Contoh yang relevan, analisis kasus dan percobaan membantu peserta didik untuk mendapatkan kunci-kunci penting pemahaman tanpa kehilangan basis pada realitas. Pendidik seringkali melupakan metode-metode memberikan praktek yang mengajak peserta didik berpikir, sebab pendidik harus memenuhi tuntutan target materi yang harus tersampaikan dalam pertemuan itu.

2. Nilai Ujian dan Ijazah adalah Inti dari Seluruh Proses Pendidikan
Masyarakat yang memandang ijazah sebagai tujuan pokok dari seluruh proses pendidikan kehilangan makna dari pendidikan itu sendiri. Bersekolah, bagi masyarakat yang demikian, adalah usaha untuk mendapatkan ijazah. Agar mendapatkan ijazah dengan keterangan yang memuaskan, nilai-nilai ujian perlu digenjot. Ijazah menjadi golden ticket untuk meneruskan perjuangan hidup berikutnya. Ijazah digunakan untuk melamar pekerjaan dan mendapatkan jabatan sehingga kesejahteraan hidup pun terjamin. Apa bahaya dari pandangan yang terlalu ‘gila ijazah’ ini?
Pendidikan, dalam masyarakat yang demikian, tidak lagi merupakan usaha untuk membuat manusia yang sungguh menjadi manusia. Nilai ujian dan ijazah dikejar demi nilai ujian itu sendiri. Nilai ujian dan ijazah bukan lagi menandakan kualitas dari peserta didik. Pendidik dan peserta didik sama-sama dituntut untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai formalitas untuk memperoleh nilai yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan ijazah. Dosen yang membutuhkan waktu lama untuk membimbing satu skripsi, misalnya, tidak jarang dianggap terlalu kolot dan didesak segera meluluskan mahasiswa tersebut dengan kemampuan yang seadanya.
Revolusi terhadap mental ‘gila ijazah’ ini memang tidak mudah sebab perbaikan tidak hanya melibatkan sistem pendidikan melainkan juga sistem ekonomi dan politik. Sistem penilaian dalam pendidikan perlu dibuat agar tidak terlalu mementingkan kuantitas. Lapangan pekerjaan juga perlu diperluas agar orang tidak khawatir akan kesempatan yang ia dapatkan untuk mengembangkan diri di suatu lapangan pekerjaan tertentu. Dengan demikian, pendidikan yang ia jalani juga sungguh berkualitas.

3. Standarisasi nilai melalui Ujian Akhir Nasional
Ujian Akhir Nasional (UAN) yang selama ini dilakukan menuai banyak kritik. UAN dilakukan dengan alasan standarisasi kemampuan pelajar di seluruh Indonesia. Pelaksanaan UAN memiliki asumsi dasar bahwa peserta didik berangkat dari modal yang sama sehingga dapat mencapai standar kemampuan akademis tertentu yang sama. Kenyataannya, peserta didik tidak memiliki modal yang sama. Mereka memiliki modal pengetahuan, budaya, kualitas sekolah dan lingkungan masyarakat yang berbeda. UAN sebagai standarisasi kemampuan akademis tidak lagi relevan mengingat modal yang berbeda ini. Peserta didik di Jakarta tidak memiliki latar belakang budaya, kualitas sekolah dan lingkungan serta kebutuhan yang sama dengan peserta didik di makassar, sehingga standarisasi pun tak dapat dilakukan. Syarat suatu perbandingan dapat dilakukan ialah hal-hal yang diperbandingkan memiliki prinsip yang sama. Apabila tidak memiliki prinsip yang sama maka terjadilah incommensurability.

4. Pendidik menjadi Sekedar Memenuhi Formalitas Mengajar karena Tekanan Sistem
Pendidik dalam menjalankan aktivitas mendidik tidak hanya berurusan dengan peserta didik dan materi yang ingin disampaikan. Pendidik juga disibukkan dengan borang-borang rencana pembelajaran dan target materi yang harus tersampaikan. Target ini tentu berkaitan juga dengan UAN. Apabila target materi tidak terpenuhi maka peserta didik terancam tidak lulus UAN. Apabila ada siswa yang tidak lulus UAN, maka nama baik sekolah pun akan tercemar.
‘Sekadar memenuhi formalitas’ tidak hanya menjangkiti guru di sekolah tetapi juga para dosen di perguruan tinggi. Berulang kali jenis borang rencana pembelajaran berubah. Perubahan yang terjadi dalam kurun waktu satu setengah tahun ini ialah dari Silabus dan SAP (Satuan Acara Perkuliahan) ke RPKPS (Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester) lalu kini ke RPS (Rencana Pembelajaran Semester). Dosen harus selalu menyesuaikan diri dengan perubahan borang ini. Belum lagi ditambah sistem yang harus dipenuhi sebagai dosen yang memiliki NIDN (Nomer Induk Dosen Nasional) begitu banyak dan rumit. Akhirnya dosen lebih lancar sebagai pengelola administrasi ‘ke-dosen-an’ daripada sebagai seorang pendidik.


5. Orang Miskin Dilarang Sekolah
Bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah biaya yang dibutuhkan untuk mendukung pendidikan seorang anak. Biaya ini tidak masuk akal bagi orang tua yang memiliki pendapatan tidak lebih dari satu setengah juta rupiah per bulan, bahkan untuk yang berpenghasilan tiga juta rupiah sekalipun. Tidak masuk akalnya biaya untuk pendidikan, membuat banyak anak harus putus sekolah. Revolusi Mental dalam pendidikan perlu didukung kebijakan politik dan ekonomi serta mekanisme agar pendidikan akhirnya dapat diakses siapa saja di seluruh pelosok negeri ini. Apabila kartu indonesia pintar jadi diterapkan,maka mekanisme pembagian serta penggunaanya perlu dikawal agar dapat berfungsi dan tepat sasaran.

6. Perbanyak Pelajaran Agama agar Perilaku Menjadi Baik
Pemberlakuan kurikulum 2013 mengundang kritik dari para pemerhati pendidikan. Kurikulum 2013 memiliki tujuan besar untuk mengubah moral peserta didik menjadi lebih baik. Kekeliruan dimulai ketika penerapan kurikulum 2013 dilakukan dengan memperbanyak ajaran agama. Anggapan bahwa ‘memperbanyak pelajaran agama dapat mengubah perilaku menjadi baik’ berakar dari asumsi pembedaan yang tajam antara budaya dalam bentuk yang immaterial (cara pikir, merasa) dan material (tindakan, hasil karya cipta manusia). Tidak hanya pembedaan bahkan stratifikasi. Unsur immaterial dianggap lebih tinggi dari pada unsur material. Penguasaan pelajaran agama dianggap pasti dapat mengubah perilaku peserta didik.
Padahal dalam kenyataan, penguasaan teoritik saja tidak menjamin nilai-nilai yang dipelajari di sekolah menjadi cara berpikir dalam praktek hidup. Dalam revolusi mental, perlu diupayakan perubahan asumsi dasar dalam memandang budaya. Sebagaimana disarankan dalam tulisan Mengartikan Revolusi Mental, unsur budaya sebagai pola kebiasaan, pandangan hidup dan lapisan fisik perlu dilihat secara integral. Mengubah moral yang merupakan praktek hidup, perlu pembaruan penafsiran kurikulum dan metode mendidik. Perubahan moral tidak selalu datang dari pelajaran agama tetapi bisa juga dari pelajaran etika. Tentu saja pelajaran etika yang dimaksud ialah pelajaran etika dengan pembaruan dalam metode pengajaran, sehingga tidak terjebak lagi dalam menghafal teori-teori etika.


Sumber : http://surabaya.bisnis.com/read/20140516/25/71407/jokowi-jelaskan-apa-itu-yang-dimaksud-revolusi-mental


Tidak ada komentar:

Posting Komentar