Selasa, 25 November 2014

Esensialisme dalam Pendidikan

A.    Pengertian Aliran Esensialisme

Esensialisme berasal dari kata latin essential yang berarti “hal yang pokok/hakiki”. Aliran esensialisme menekankan pentingnya penyampaian hal-hal yang esensial (hakiki) dalam pendidikan. Aliran ini merupakan reaksi terhadap progresivisme yang terlalu menekankan metode belajar melalui pemecahan masalah dan aktivitas sendiri para siswa untuk mengikuti minat dan kebutuhan mereka.

Dalam hubungannya dengan pendidikan, esensialisme menekankan pada tujuan pewarisan nilai-nilai kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif, bertahan lama serta bernilai untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahun ini dilaksanakan dengan memberikan ketrampilan, sikap, dan nilai yang merupakan bagian esensial dari unsur-unsur pendidikan.

Guru dalam proses pendidikan dipandang sebagai center for excellence, karena dituntut untuk menguasai bidang studi dan sebagai model atau figur yang diteladani oleh peserta didik. Guru harus menguasai materi pengetahuannya, sebab mereka dianggap memegang posisi tertinggi dalam pendidikan. Melalui sekolah, guru berperan untuk mentransmisikan ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan oleh peserta didik dalam masyarakat.

Tokoh-tokoh dari aliran esensialisme antara lain:
1.         Desiderius Erasmus, hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16.  Ia merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
2.         Johan Amos Comenius, ia adalah seorang yamg memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan. Karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3.         John Locke, ia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
4.         Johan Henrich Pestalozzi, ia mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya, selain itu manusia juga mempunyai hubungan transcendental langsung dengan Tuhan.
5.         Johan Friederich Frobel, ia memandang bahwa anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak kearah kesadaran diri yang murni selaras dengan fitrah kejadiannya.
6.         Johan Friederich Herbert, ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan.
7.         William T Harris, ia berpendapat bahwa tugas pendidikan ialah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti yang berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi panutan penyesuaian diri kepada masyarakat.

B.    Aliran Esensialisme dalam Pendidikan

Terdapat beberapa prinsip asasiah yang menjadi asumsi dalam aliran esensialisme, yaitu:
1.      Kegiatan belajar pada dasarnya menuntuk kerja keras dan latihan yang kadang membosankan. Kalau progresivisme sangat menekankan kebebasan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajarnya, namun esensialisme sangat menekankan perlunya kedisiplinan dalam belajar. Peserta didik diajak untuk mengejar cita-citanya, suatu “mimpi” yang hanya menjadi minat dan kebutuhannya sesaat.

Di antara berbagai spesies makhluk hidup, hanya manusia saja yang dapat menguasai keinginan-keinginan spontannya. Kalau hal ini tidak pernah dilatih dan dibiasakan pada diri anak didik, maka pendidik tidak membantu mereka untuk mempergunakan secara maksimal “sesuatu” yang “mungkin” menjadi bakat dan potensinya. Kalau seorang pendidik hanya menuruti egoisitasnya, akan berimplikasi pada “terbunuh”nya pertumbuhan serta penyemaian sikap disiplin diri peserta didik.

2.      Inisiatif pokok dalam pendidikan tidak terletak pada murid tetapi pada guru. Peserta didik sebagai orang yang belum dewasa memerlukan bimbingan dan kontrol orang yang lebih dewasa untuk mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia. Peranan guru sebagai pendidik adalah menjadi penghubung antara dunia anak dengan dunia orang dewasa karena anak tidak mungkin memahami dunia orang dewasa.

Menurut para esensialis, guru harus bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didiknya. Ia harus secara intelektual dan emosional memiliki kualifikasi untuk menjadi pemimpin mereka yang sesungguhnya. Mengutip ucapan Brickman: “Esensialisme menempatkan guru pada pusat dunia pendidikan. Oleh karena itu, guru harus memiliki pengetahuan akademik, pengetahuan tentang psikologi anak dan memantau perkembangan peserta didik dalam proses belajarnya; memiliki kemampuan untuk menyampaikan fakta dan cita-cita kepada generasi muda, suatu penghargaan terhadap dasar-dasar historis dan filosofis pendidikan; dan pengabdian yang sungguh-sungguh pada pekerjaannya.

3.      Inti proses pendidikan adalah dikuasainya bahan yang sebelumnya sudah ditetapkan. Menurut kaum esensialis, inti dari proses pendidikan adalah penguasaan bahan pelajaran yang sebelumnya sudah ditetapkan oleh guru. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum realis bahwa lingkungan fisik dan sosial faktor yang menentukan bagaimana ia harus hidup.
4.     
Kaum esensialis menyetujui pandangan kaum progresifis bahwa pendidikan harus mampu menciptakan peserta didik memiliki kemampuan untuk mewujudkan bakat-bakat dan kemampuannya. Namun, kaum esensialis menyatakan bahwa perwujudan itu mesti terlaksana dalam dunia yang tidak tergantung pada individu dan sebaliknya dunia yang mempunyai peraturan di mana individu tersebut harus tunduk.

Dalam hal ini, tujuan dari pendidikan adalah untuk membantu peserta didik untuk mengenali dunia tersebut seperti adanya dan tidak hanya menafsirkan sesuai dengan minat dan kepentingan mereka. Bahan pelajaran mesti disampaikan kepada mereka sesuai dengan urutan dan tatanan logisnya.

4.      Sekolah mesti mempertahankan metode tradisional yang menekankan disiplin mental. Kaum esensialis tidak menyangkal adanya hubungan dari metode pemecahan masalah sebagai metode belajar. Akan tetapi metode ini tidak boleh menjadi cara satu-satunya dalam seluruh proses belajar mengajar. Banyak pengetahuan bersifat abstrak dan tidak dapat diurai secara memuaskan ke permasalahan-permasalahan yang dianggap praktis. Walaupun belajar sambil melakukan (learning by doing) mungkin cocok dalam situasi tertentu dan untuk anak didik tertentu, akan tetapi konsep seperti itu tidak berlaku secara universal dan general.


C.    Aliran Esensialisme dipandang dari Ontologi

Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. Dengan kata lain, bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.

Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.

Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif. Realisme objektif mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam dan tempat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan tata yang khusus. Dengan demikian, suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkanmenurut hukum alam, salah satunya adalah daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.

Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis ketimbang realisme objektif. Pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh, meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, maka idealisme objektif menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah nyata. 

Ciri lain mengenai penafsiran idealisme tentang sistem dunia tersimpul dalam pengertian-pengertian makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos menunjuk pada keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmis. Mikrokosmos menunjuk pada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai individu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta. Pengertian mengenai makrokosmos dan mikrokosmos merupakan dasar pengertian mengenai hubungan antara Tuhan dan manusia. 


D.    Aliran Esensialisme dipandang dari Epistemologi

Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistimologi esensialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari bahwa realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya. Berdasarkan kualitas inilah manusia memproduksi pengetahuannya secara tepat dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial, dan agama. Generalisasi di atas secara keseluruhan adalah pola pelaksanaan asas pandangan idealisme dan realisme.

E.    Aliran Esensialisme dipandang dari Aksiologi

Pandangan ontologi dan epistimologi sangat mempengaruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dan tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Dengan kata lain, esensialisme terbina oleh kedua syarat tersebut.
1.      Teori nilai menurut idealisme
Penganut idealisme berpendapat bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika interaktif dan melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
2.      Teori nilai menurut realisme
Prinsip sederhana realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi, bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidup. Dalam masalah baik-buruk khususnya dan keadaan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan pada keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan.

F.    Kesimpulan

Aliran esensialisme merupakan aliran yang menekankan pentingnya penyampaian hal-hal yang esensial atau hakiki dalam pendidikan. esensialismemenekankan pada tujuan pewarisan nilai-nilai kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif, bertahan lama serta bernilai untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahun ini dilaksanakan dengan memberikan ketrampilan, sikap, dan nilai yang merupakan bagian esensial dari unsur-unsur pendidikan.

Dalam pandangan ontologi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.

Dalam pandangan epistemologi, realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya. Berdasarkan kualitas inilah manusia memproduksi pengetahuannya secara tepat dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial, dan agama.

Dalam pandangan aksiologi, aliran ini memandang bahwa nilai-nilai berasal dan tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Menurut penganut idealisme, bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika interaktif dan melaksanakan hukum-hukum itu. Sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Menurut realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi, bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidup. Realisme bersandarkan pada keturunan dan lingkungan.


Rabu, 19 November 2014

Eksistensialisme dalam Pendidikan



A.    Pengertian  Eksistensialisme

            Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.       
    
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (dan artinya di sana, sein artinya berada).

            Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dalam dunia; ia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar.  Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

            Filsafat ini memfokuskan padsa pengalaman-pengalaman individu. Eksistensi adalah cara manusia ada di dunia ini. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi yang lain. Cara beradanya manusia adalah hidup bersama dengan manusia lainnya, ada kerjasama dan komunikasi serta dengan penuh kesadaran, sedangkan benda-benda meteri lainnya keberadaannya berdasarkan ketidak sadaran akan dirinya sendiri dan tidak dapat berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada diluar manusia tidak akan bermakna dan tidak memiliki tujuan apa-apa jika terpisah dari manusia. Jadi dunia bermakna karena manusia.



B.     Eksistensialisme dalam Pendidikan

Menurut penjelasan di atas eksistensialisme adalah paham yang berkaitan tentang individu atau diri pribadi seseorang, untuk eksis/bisa menjadi seorang manusia. Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.

Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.

Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya. Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.



C.    Kajian Ontologi
Masalah ontologis dalam pandangan eksistensialisme berkaitan erat dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, yang erat kaitannya dengan landasan fiolosofis pendidikan yang menjadi acuan perumusan tujuan yang lebih umum. Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua  potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.

            Pemikiran filsafat ekisistensialisme menyebutkan bahwa manusia memiliki keberadaan yang unik dalam dirinya berbeda antara manusia satu dengan manusia lainnya. Dalam hal ini telaah manusia diarahkan pada individualitas manusia sebagai unit analisisnya. Dan berfokus pada pengalaman-pengalaman individu yang diantaranya: 
1. berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya.
2. menekankan data fakta dengan kurikulum bercorak vokasional.
3. konsentasi studi pada materi-materi dasar tradisional sperti membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik.
4. pola orientasinya pada skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks.
5. perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien.
6. yakin pada nilaipengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri.
7. disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang dialami.

            Secara umum eksistensialisme menekankan pada kreatifitas, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realita. Eksistensialisme lebih memperhatikan pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah dan metafisika tentang alam semesta.
Kebebasan individu sebagai milik manusia adalah sesuatu yang paling utama karena individu memiliki sikap hidup, tujuan hidup dan cara hidup sendiri. 
Jadi, filsafat pendidikan eksistensialisme yaitu filsafat yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mendapatkan pendidikan secara otentik yang artinya setiap manusia mempunyai tanggungjawab dan kesadaran diri untuk mereka sendiri.



D.    Kajian Epistimologis

Kajian ini berkaitan dengan pengetahuan dan masalah kebenaran. Jika dikaitkan dengan kurikulum yaitu menjadikan kurikulum yang liberal. Ini merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan–aturan. Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajar respek rasa hormat terhadap kebasan untuk semua. Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog.
Filsafat eksistensialis menegaskan bahwa individu bertanggung jawab untuk menentukan hidupnya sendiri. Dalam banyak cara yang sama, epistemologi eksistensialis mengasumsikan bahwa individu bertanggung jawab untuk pengetahuan sendiri. Pengetahuan berasal dan terdiri dari apa yang ada dalam kesadaran individu dan perasaan sebagai hasil dari pengalaman dan proyek. Situasi manusia yang terdiri dari komponen baik rasional dan irasional. Validitas pengetahuan ditentukan oleh nilai dan makna terhadap individu tertentu. Sebuah epistemologi eksistensialis muncul dari pengakuan bahwa pengalaman manusia dan pengetahuan bersifat subyektif, personal, rasional, dan irasional.

E.     Kajian Aksiologis

Aspek yang ketiga ini berhubungan dengan nilai (etika dan estetika).  Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih dan diambil.Etika sebagai tuntunan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti orang. Nilai  keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya.

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih, namun menetukan pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar yang bertanggung jawab.
Setiap siswa menciptakan dan menjadi pribadi bertanggung jawab untuk memaknai acara tersebut, mungkin ada baiknya untuk mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang berarti bahwa suatu peristiwa sejarah yang sederhana mungkin bagi siswa


F.     Kesimpulan

Implikasi pendidikan pada filsafat Ektensialisme terhadap tujuan Pendidikan adalah mendorong individu mengembangkan potensi untuk pemenuhan diri.  Dalam referensi lain pandangan eksistensialisme tentang teori pendidikan yaitu tujuan pendidikan adalah siswa mengembangkan potensinya masing-masing untuk mencari jati dirinya. Selain itu juga filsafat eksistensi dalam Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri.

Eksistensialime menekankan pada keberadaan individu manusia yang ditunjukkan melalui kebebasan Individu dalam membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan. Kebebasan ini ada batasnya, adapun batasnya adalah kebebasan Individu lain, sehingga dalam kebebsan ini tidak terjadi benturan kebebasan dengan kebebsan individu satu dengan individu lain.

Dalam dunia pendidikan Eksistensialisme memberikan kebebasan bagi individu untuk menentukan tujuan pendidikan yang ia tempuh. Berkaitan dengan kurikulum individu manusia memiliki kebebasan bahwa kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan Individu dan bukan Individu yang menyesuaikan dengan kurikulum. Dalam kegiatan pembelajaran guru berperan sebagai media dan fasilitator dalam membantu dan membimbing siswa dalam memenejemen kebebasannya agar tidak berbenturan dengan kebebasan orang lain.  Sedangkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar memiliki kebebasan untuk memaknai atau merekonstruksi suatu kebenaran dalam ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar sehingga hasil dari proses belajar tidak bersifat kaku.